Lautan imajinasi, jejak kata yang tak pernah usai. Di mana setiap huruf menari di ombak khayal. Tinta mengalir, lautan berbisik, dan imajinasi menjadi abadi.
Kami adalah kelompok penulis pencinta kata dan penggenggam cerita, berkomitmen untuk merangkai dunia imajinasi melalui novel-novel yang menginspirasi. Di Astarani Nah, setiap halaman adalah pintu menuju petualangan, dan setiap pena adalah jembatan yang menghubungkan ide-ide brilian. Kami percaya bahwa kekuatan kata-kata mampu membawa pembaca melintasi batas realitas, menyelami emosi, dan menemukan makna baru dalam setiap kisah yang kami ciptakan.
Kami di Astarani Nah juga berkomitmen untuk menjaga keaslian dan kepekaan dalam setiap karya yang kami hasilkan. Dengan menggali kekayaan budaya, pengalaman manusia, dan keajaiban alam semesta, kami berusaha menciptakan cerita yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membangkitkan pemikiran dan resonansi mendalam di hati pembaca. Setiap novel adalah cerminan dari semangat kami untuk merayakan kehidupan, mengeksplorasi kompleksitas jiwa, dan mengundang siapa saja yang membukanya untuk ikut bermimpi tanpa batas.
Angin musim dingin menyelinap melalui celah-celah kimono Ayane, membawa serta aroma salju dan kayu pinus yang dingin. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan tanah di desa kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Hiei, tempat ia mencari perlindungan setelah dunia merenggut segalanya darinya. Di tangan kanannya, sebuah tongkat bambu mengetuk tanah dengan irama pelan, mencari jejak di kegelapan abadi yang kini menjadi dunianya. Katana yang terikat di pinggangnya bergoyang lembut, seolah menjadi bagian dari dirinya yang tak pernah lelet meski matanya telah tertutup selamanya. Luka parut melintang di wajahnya—bekas pedang yang merenggut penglihatannya tiga tahun lalu—adalah tanda bahwa ia pernah hidup di ambang kematian, dan entah bagaimana, ia bertahan. “Samurai buta,” bisik seorang pedagang dari balik gerobaknya, suaranya penuh ejekan. “Wanita pula. Apa gunanya pedang di tangan yang tak bisa melihat?” Ayane tidak menoleh. Ia sudah terbiasa dengan cemoohan seperti itu—dari petani yang berbisik di ladang, dari ronin mabuk di kedai sake, bahkan dari anak-anak yang melempar batu kecil ke arahnya sambil tertawa. Tapi di balik wajahnya yang tenang, sebuah bara kecil tetap menyala di dadanya: tekad yang tak pernah padam, meski dunia berulang kali mencoba memadamkannya. Ia bukan hanya seorang wanita buta; ia adalah putri terakhir dari klan samurai kecil yang musnah, dilatih sejak kecil untuk memegang pedang, dan kini, meski tak lagi memiliki rumah, ia masih memiliki kehormatan. Desa itu, dengan rumah-rumah kayu sederhana dan asap yang mengepul dari cerobong, adalah tempat perlindungan sementaranya. Penduduk desa menerimanya dengan setengah hati—mereka memberinya nasi dan tempat berteduh, tapi tatapan mereka penuh curiga. “Wanita tak pantas jadi samurai,” kata seorang tua suatu hari, meludah ke tanah. “Apalagi yang cacat.” Ayane hanya diam, tapi kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pedang yang pernah merenggut matanya. Malam itu, kedamaian desa pecah. Jeritan tajam memotong udara, disusul bau asap dan suara kuda yang mendekat dari kejauhan. Ayane berhenti di tengah jalan, memiringkan kepala. Ia mendengar langkah berat di tanah beku, derit kulit pelana, dan tawa kasar yang bergema di antara pepohonan. Penyamun, pikirnya. Jantungnya berdegup kencang, tapi kakinya terasa berat. Ia buta, sendirian, dan hanya seorang wanita di mata dunia—apa yang bisa ia lakukan? Sebuah tangan kecil tiba-tiba menarik ujung kimononya. “Kakak Ayane, mereka datang! Tolong kami!” Itu Hana, gadis berusia sembilan tahun yang sering membuntutinya dengan cerita-cerita polos tentang burung dan bunga. Mata Ayane mungkin tak bisa melihat, tapi ia tahu wajah Hana penuh ketakutan dari getaran suaranya. “Hana, bersembunyi,” perintah Ayane, suaranya tegas meski hatinya bergoyang. Ia mendengar langkah kecil gadis itu berlari menjauh, lalu berbalik menghadap suara kekacauan yang mendekat. Tongkat bambunya jatuh ke tanah, digantikan oleh katana yang ia tarik dari sarungnya dengan gerakan halus. Logam itu terasa dingin di tangannya, tapi familiar, seperti sahabat lama. “Jika aku mati malam ini,” gumamnya pada dirinya sendiri, “setidaknya aku mati sebagai samurai.” Penyamun itu datang dalam kelompok kecil, lima orang, dipimpin oleh seorang ronin bertubuh besar bernama Goro. Ia mengenakan baju zirah usang dan membawa pedang panjang yang berkilau di bawah cahaya obor yang dipegang anak buahnya. Mereka berhenti beberapa langkah dari Ayane, tertawa melihatnya berdiri sendirian di tengah jalan, katana terhunus tapi mata kosong. “Apa ini?” Goro menyeringai, suaranya berat dan penuh cemooh. “Wanita buta ingin bermain pedang? Pulanglah, Nak, sebelum aku potong tanganmu yang lelet itu.” Ayane diam. Ia tidak membalas dengan kata-kata—ia mendengarkan. Napas Goro yang kasar, langkah kaki anak buahnya yang ceroboh di salju, bahkan bunyi pelan dari obor yang bergoyang di tangan mereka. Ibunya pernah berkata padanya, saat ia masih kecil dan memegang pedang kayu di halaman rumah, “Jika matamu gagal, dengarkan dunia. Ia akan berbicara padamu.” Dan malam itu, dunia berbicara keras pada Ayane. Goro menyerang lebih dulu. Pedangnya menebas udara dengan kekuatan brutal, tapi Ayane melangkah ke samping, merasakan hembusan angin dari serangan itu di pipinya. Ia membalas dengan tebasan cepat, katananya mengenai lengan Goro. Darah muncrat ke salju, dan ronin itu meraung, mundur beberapa langkah sambil memegangi lengannya. “Dasar setan!” teriaknya, matanya menyipit penuh amarah. “Bunuh dia!” Anak buah Goro maju bersamaan, pedang mereka berderit saat ditarik dari sarung. Pertarungan itu kacau, tapi bagi Ayane, dunia menjadi jelas dalam kegelapannya. Ia mendengar setiap langkah, setiap napas, setiap gerakan. Seorang penyamun mendekat dari kiri—ia bisa mendengar salju berderit di bawah sepatunya—dan Ayane memutar tubuh, menusuk tepat ke dadanya. Pria itu jatuh tanpa suara. Yang kedua menyerang dari belakang, tapi ia terlalu berisik, napasnya terengah karena dingin. Ayane membungkuk, membiarkan pedang lawan melintas di atas kepalanya, lalu memotong kakinya dengan gerakan rendah. Tapi Goro bukan lawan sembarangan. Ia pulih dari luka pertamanya dan kembali menyerang, kali ini lebih cepat, lebih ganas. Pedangnya menggores lengan Ayane, dan rasa sakit membakar seperti api. Ia tersandung, katananya nyaris jatuh dari tangan. “Aku memang tak berguna,” pikirnya, suara-suara lama bergema di kepalanya—cemoohan penduduk desa, tawa musuh yang membunuh keluarganya, bahkan keraguannya sendiri. “Wanita buta yang bodoh.” Tapi kemudian ia mendengar sesuatu—tangis pelan Hana dari kejauhan, tersembunyi di balik tumpukan kayu. Bara di dadanya membesar, menjadi api yang membakar keraguannya. “Tidak,” gumamnya, giginya terkatup erat. “Aku bukan beban.” Dengan sisa tenaga, Ayane bangkit. Goro tertawa, mengira ia sudah menang, dan melangkah mendekat dengan pedang terangkat. Ayane mendengar getaran salju di bawah kakinya, merasakan angin dari ayunan pedang itu. Ia membungkuk rendah, lalu mendorong katananya ke atas dengan kekuatan penuh. Logam menembus baju zirah Goro, masuk ke dadanya, dan ronin itu terdiam, tubuhnya ambruk ke tanah dengan bunyi berat. Desa menjadi sunyi. Ayane berdiri di tengah salju yang kini bernoda merah, napasnya membentuk kabut di udara dingin. Darah menetes dari lengannya, tapi ia tersenyum kecil, hampir tak percaya. “Aku bisa,” bisiknya pada dirinya sendiri. Pagi harinya, matahari terbit di atas Gunung Hiei, menyinari desa yang masih terguncang. Penduduk berkumpul di sekitar Ayane, yang duduk di tepi sebuah beranda kayu dengan lengan dibalut kain sederhana. Mereka yang dulu mencemooh kini menunduk, beberapa membawa mangkuk nasi atau teh hangat sebagai tanda terima kasih. Hana berlari mendekat, memeluknya erat. “Kakak Ayane pahlawanku!” serunya, matanya berbinar. Ayane mengelus rambut gadis itu, merasakan kehangatan yang lama tak ia rasakan. “Bukan aku yang hebat, Hana,” katanya lembut. “Kau yang memberiku alasan bertarung.” Hari-hari berikutnya, desa mulai berubah. Ayane tidak lagi hanya seorang pengembara yang diterima dengan setengah hati—ia menjadi sesuatu yang lebih. Penduduk memintanya mengajari mereka, bukan hanya cara memegang pedang, tapi cara mendengarkan dunia seperti yang ia lakukan. Di tepi sungai yang mengalir di dekat desa, ia duduk bersama beberapa pemuda dan anak-anak, mengajarkan mereka menutup mata dan mendengar—mendengar air yang bergoyang, angin yang berbisik, bahkan langkah kelinci di semak-semak. Awalnya, mereka gagal. Seorang pemuda bernama Taro mengeluh, “Ini tak masuk akal! Bagaimana aku bisa bertarung tanpa melihat?” Ayane tersenyum tipis, mengambil tongkat bambunya, dan mengetuk tanah di dekat kaki Taro. Pemuda itu tersandung, dan anak-anak tertawa. “Dengar dulu sebelum kau melihat,” kata Ayane. “Matamu bisa menipu, tapi dunia tak pernah berbohong.” Latihan itu berlangsung berminggu-minggu, dan perlahan, mereka mulai mengerti. Hana, dengan semangatnya yang tak pernah padam, menjadi yang pertama berhasil—ia bisa menangkap suara daun yang jatuh dan menunjukkan arahnya dengan mata tertutup. Ayane merasa sesuatu tumbuh di dadanya: kebanggaan, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka yang mulai percaya. Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Kabar tentang penyamun yang dikalahkan menyebar, dan sebulan kemudian, ancaman baru datang. Seorang daimyo kecil bernama Lord Kazuo, yang menguasai lembah tetangga, mendengar tentang “samurai buta” dan menganggapnya sebagai tantangan. Ia mengirim sekelompok prajurit—dua puluh orang, bersenjata lengkap—untuk menaklukkan desa dan membawa Ayane sebagai trofi. Malam itu, desa kembali gelap, tapi kali ini Ayane tidak sendirian. Penduduk berdiri di sisinya, memegang tombak dan pedang tua, meski tangan mereka gemetar. “Kakak Ayane, kita tak bisa menang,” bisik Hana, wajahnya pucat. “Mereka terlalu banyak.” Ayane menggenggam bahu gadis itu. “Jumlah bukan segalanya,” katanya. “Dengar mereka. Rasakan mereka. Dan bertarunglah untuk apa yang kau cintai.” Pertempuran itu brutal. Prajurit Kazuo datang dengan obor dan jeritan perang, tapi Ayane telah merencanakan sesuatu. Ia memimpin penduduk ke hutan di dekat desa, tempat pohon-pohon pinus rapat dan salju tebal menutupi tanah. Di sana, ia menggunakan kegelapannya sebagai senjata—memadamkan obor musuh dengan bantuan angin malam, lalu memandu desa untuk menyerang dari bayang-bayang. Ayane sendiri berdiri di tengah kekacauan, katananya bergerak seperti angin. Ia mendengar derit baju zirah, suara napas yang terengah, dan langkah kaki yang tersandung di akar pohon. Satu per satu, prajurit jatuh, beberapa oleh pedangnya, beberapa oleh tombak penduduk yang kini bertarung dengan keberanian baru. Ketika fajar menyingsing, hanya tiga prajurit Kazuo yang tersisa, dan mereka melarikan diri, meninggalkan jejak darah di salju. Desa selamat, tapi Ayane tahu ia tak bisa tinggal. Kazuo tidak akan menyerah begitu saja, dan ia tak ingin desa terus menjadi sasaran. Di bawah pohon sakura yang baru mulai bertunas, ia mengucapkan selamat tinggal. Hana menangis, memeluknya erat. “Jangan pergi, Kakak Ayane. Kami butuh kamu.” Ayane berlutut, menyentuh wajah gadis itu. “Kalian sudah punya apa yang kalian butuhkan—di sini,” katanya, menepuk dada Hana. “Aku hanya menunjukkan jalannya.” Ayane meninggalkan desa dengan langkah ringan, katananya kembali di pinggang, tongkat bambunya mengetuk tanah. Ia tak tahu ke mana ia akan pergi, tapi ia tahu ia bukan lagi wanita buta yang dulu—yang penuh keraguan dan rasa takut. Dunia mungkin tak pernah melihatnya sebagai samurai sejati, tapi ia telah membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kekuatan bukan tentang mata yang melihat, melainkan hati yang bertahan. Rumor tentang samurai wanita buta menyebar melintasi lembah dan gunung. Beberapa menyebutnya hantu, beberapa pahlawan. Tapi bagi mereka yang pernah bertemu dengannya—Hana, Taro, dan penduduk desa kecil itu—ia adalah cahaya dalam kegelapan, bukti bahwa bahkan di tengah malam terdingin, sebuah bara kecil bisa menjadi api yang membakar langit. Bertahun-tahun kemudian, seorang gadis muda berdiri di tepi sungai yang sama, memegang katana tua yang ditemukannya di bawah pohon sakura. “Kakak Ayane,” katanya pada angin, “aku akan melanjutkan mimpimu.” Di tangannya, pedang itu berkilau, dan di hatinya, sebuah bara menyala—warisan seorang samurai yang mengubah kegelapan menjadi harapan.
Langit senja membentang luas di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang perlahan memudar. Aku berdiri di tepi dermaga kecil, angin laut menyapu lembut rambutku yang terurai. Di tanganku, sebuah surat kusut yang sudah kubaca berulang-ulang hingga kata-katanya terpatri di hati. Surat dari Arga, satu-satunya lelaki yang pernah membuatku percaya bahwa cinta itu nyata, meski kini hanya tinggal kenangan yang bergetar di ujung jiwa. Namaku Lintang, seorang penulis cerita pendek yang lebih sering tenggelam dalam dunia imajinasi ketimbang realitas. Dua tahun lalu, aku bertemu Arga di sebuah kafe tua di ujung kota. Dia duduk di sudut, membaca buku puisi dengan tatapan yang seolah bisa menembus dinding waktu. Aku tak sengaja menjatuhkan pena di dekat mejanya, dan ketika dia mengambilnya untukku, senyumnya membukakan pintu yang selama ini kukunci rapat. “Pena ini terlalu bagus untuk jatuh sembarangan,” katanya sambil menyerahkan pena itu padaku. Suaranya hangat, seperti sinar matahari yang menyelinap di sela-sela daun. Aku tersenyum kikuk. “Mungkin dia sengaja jatuh supaya aku punya alasan bicara sama kamu.” Dia tertawa, dan sejak saat itu, hidupku tak lagi sama. Hari-hari bersama Arga adalah lembaran-lembaran cerita yang tak pernah ingin kutamatkan. Kami sering menghabiskan sore di tepi pantai, berjalan tanpa alas kaki di atas pasir yang masih hangat oleh sisa matahari. Dia suka menceritakan mimpinya membangun sekolah kecil di desa terpencil, tempat anak-anak bisa belajar tanpa beban. Aku selalu mendengarkan dengan hati bergetar, membayangkan betapa indahnya dunia yang dia gambarkan. Tapi cinta, seperti senja, tak pernah abadi. Setahun setelah kami bersama, Arga pergi. Bukan karena dia tak lagi mencintaiku, tapi karena hidup punya cara sendiri untuk menguji kita. Dia didiagnosis dengan penyakit langka yang perlahan merenggut tenaganya. Aku ingat malam terakhir kami bersama, di rumah sakit yang dingin dan sunyi. Dia memegang tanganku erat, matanya penuh harap meski tubuhnya lemah. “Lintang, janji sama aku. Jangan berhenti menulis. Cerita-ceritamu adalah cara dunia mendengar suaramu,” bisiknya. Aku mengangguk, air mata jatuh tanpa suara. “Dan kamu janji sama aku, kamu bakal sembuh.” Dia tersenyum tipis, tapi tak menjawab. Dua hari setelah itu, dia pergi selamanya. Kini, aku kembali ke dermaga ini, tempat kami pertama kali berbagi mimpi. Surat di tanganku adalah yang terakhir dia tulis, ditemukan di antara buku puisinya setelah dia tiada. Tulisannya sederhana, tapi setiap kata terasa seperti pelukan yang tak pernah usai Lintang, jika aku tak bisa lagi bersamamu, lihatlah senja. Di sana, aku akan selalu menunggumu. Jangan takut mencintai lagi, karena cinta sejati tak pernah benar-benar pergi. – Arg Aku menatap laut yang tenang, merasakan angin membawa aroma garam dan kenangan. Dua tahun berlalu, tapi rasanya dia masih ada di sini, di sampingku. Aku mulai menulis lagi, seperti yang dia minta, tapi setiap kalimat yang kutorehkan selalu membawaku kembali padanya. Hingga suatu sore, di kafe yang sama tempat kami bertemu, hidup memberiku kejutan lain. Aku duduk di sudut, menulis cerita baru, ketika seseorang mendekat. Lelaki itu tinggi, dengan rambut sedikit berantakan dan mata yang penuh rasa ingin tahu. Dia membawa secangkir kopi dan sebuah buku—buku puisiku yang terbit beberapa bulan lalu. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya, suaranya lembut tapi tegas. Aku mengangguk, sedikit terkejut. “Tentu.” Dia tersenyum, lalu membuka buku itu. “Aku baca ini kemarin, dan aku merasa seperti mengenal penulisnya. Cerita-ceritamu... penuh jiwa.” Aku menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu di matanya yang mengingatkanku pada Arga—bukan wajahnya, tapi kehangatan yang dia bawa. Namanya Rama, seorang dokter yang baru pindah ke kota ini. Dia bercerita tentang mimpinya membangun klinik kecil untuk masyarakat yang tak mampu, dan aku hanya bisa diam, mendengarkan dengan hati yang bergetar. Hari-hari berikutnya, kami sering bertemu. Rama tak pernah memaksakan apa pun, tapi kehadirannya perlahan mengisi kekosongan yang dulu kurasa tak akan pernah hilang. Dia suka mengajakku ke pantai, dan meski aku tak pernah bilang, aku tahu Arga pasti tersenyum di mana pun dia berada. Suatu malam, di dermaga yang sama, Rama berdiri di sampingku. Senja kembali menyapa, dan aku merasa damai yang sudah lama hilang. Dia memandangku, lalu berkata, “Lintang, aku tahu kamu pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti. Aku tak akan pernah bisa menggantikannya, tapi aku ingin jadi bagian dari ceritamu, kalau kamu izinkan.” Aku menatapnya, lalu ke arah laut. Angin berbisik lembut, dan rasanya seperti Arga memberiku izin untuk melangkah. Aku tersenyum, menggenggam tangan Rama. “Aku izinkan.” Di bawah senja yang perlahan tenggelam, aku tahu satu hal: cinta tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk, menanti di pelukan yang baru, membawaku pada babak lain dalam cerita hidupku. Langit senja membentang luas di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang perlahan memudar menjadi kelabu. Aku berdiri di tepi dermaga kecil, kayu tua di bawah kakiku berderit pelan seolah ikut bernyanyi bersama ombak yang menyapu pantai. Angin laut bermain dengan rambutku yang terurai, membawa aroma garam dan kenangan yang terlalu berat untuk kulepaskan. Di tanganku, sebuah surat kusut yang sudah kubaca berulang-ulang hingga setiap lekuk tinta terasa hidup di ujung jemariku. Surat dari Arga—lelaki yang pernah menjadi duniaku, yang kini hanya tinggal bayangan di sudut hati yang tak pernah selesai merindu. Namaku Lintang, seorang penulis cerita pendek yang lebih sering tersesat dalam dunia kata-kata daripada menghadapi kenyataan. Aku tak pernah pandai bicara, tapi aku bisa menuangkan seluruh isi jiwaku ke dalam kalimat-kalimat yang terkadang terlalu rapuh untuk dibaca orang lain. Dua tahun lalu, hidupku yang monoton berubah saat aku bertemu Arga di sebuah kafe tua di ujung kota. Tempat itu sederhana, dengan dinding kayu yang sudah mengelupas dan aroma kopi yang menyelinap ke setiap sudut ruangan. Dia duduk di meja pojok, tenggelam dalam buku puisi, matanya menelusuri baris-baris kata dengan konsentrasi yang membuatku penasaran. Aku tak sengaja menjatuhkan pena di dekat mejanya—mungkin karena grogi, atau mungkin karena alam semesta punya cara sendiri untuk menyatukan dua jiwa. “Pena ini terlalu bagus untuk jatuh sembarangan,” katanya sambil mengambilnya dan menyerahkannya padaku. Suaranya hangat, seperti embun pagi yang menyentuh daun-daun basah. Aku tersenyum kikuk, mencoba menyembunyikan debaran di dadaku. “Mungkin dia sengaja jatuh supaya aku punya alasan bicara sama kamu.” Dia tertawa, suara tawanya seperti alunan musik yang tak pernah kuulangi. Sejak saat itu, aku tahu hidupku tak akan lagi sama. Hari-hari bersamanya adalah lukisan-lukisan kecil yang penuh warna. Kami sering menghabiskan waktu di tepi pantai, berjalan tanpa alas kaki di atas pasir yang masih menyimpan kehangatan matahari sore. Arga punya cara sendiri untuk membuat dunia terasa lebih lembut. Dia sering bercerita tentang mimpinya—membangun sekolah kecil di desa terpencil, tempat anak-anak bisa belajar tanpa beban biaya atau jarak. Aku selalu mendengarkan dengan hati penuh harap, membayangkan betapa indahnya dunia yang dia ciptakan dalam imajinasinya. Kadang, dia akan berhenti bicara, memandangku dengan tatapan yang seolah berkata, “Kamu bagian dari mimpi ini, Lintang.” Aku tak pernah benar-benar percaya pada cinta sebelum bertemu Arga. Bagiku, cinta hanyalah bahan bakar cerita-cerita yang kutulis—sesuatu yang indah di atas kertas, tapi rapuh di dunia nyata. Tapi Arga mengubah itu. Dia tak hanya memberiku cinta; dia memberiku keberanian untuk merasakan hidup dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Namun, seperti senja yang selalu berakhir pada malam, kebahagiaan kami tak bertahan lama. Setahun setelah kami bersama, tanda-tanda kecil mulai muncul. Arga sering kelelahan, wajahnya yang dulu cerah perlahan memucat. Aku mengira itu hanya karena dia bekerja terlalu keras—dia memang sering begadang demi menyelesaikan rencana sekolah impiannya. Tapi suatu hari, dia pingsan di tengah percakapan kami di kafe tua itu. Aku panik, tanganku gemetar saat memanggil ambulans. Di rumah sakit, dokter memberi kabar yang membuat dunia di sekitarku runtuh: Arga menderita penyakit langka yang menyerang sistem sarafnya. Tak ada obat, hanya waktu yang terus berjalan mundur baginya. Aku tak pernah siap menghadapi kenyataan itu. Aku masih ingat malam-malam panjang di rumah sakit, duduk di samping tempat tidurnya, memegang tangannya yang semakin dingin. Dia tetap tersenyum, meski aku tahu dia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya dariku. Suatu malam, dia menatapku dengan mata yang penuh cinta dan harap, lalu berbisik, “Lintang, janji sama aku. Jangan berhenti menulis. Cerita-ceritamu adalah cara dunia mendengar suaramu.” Aku mengangguk, air mata jatuh tanpa bisa kuhentikan. “Dan kamu janji sama aku, kamu bakal sembuh.” Dia tersenyum tipis, tapi tak menjawab. Aku tahu dia tak ingin berbohong padaku. Dua hari setelah itu, dia pergi, meninggalkanku dengan kehampaan yang terasa seperti lubang hitam di dadaku. Setelah kepergiannya, aku berhenti menulis. Setiap kali aku memegang pena, bayangan Arga muncul—senyumnya, suaranya, mimpinya—dan aku tak sanggup melanjutkan. Aku pindah ke kota kecil ini, mencari ketenangan di tepi laut yang dulu kami kunjungi bersama. Dermaga ini menjadi tempat pelarianku, tempat aku bisa merasa dekat dengannya lagi. Surat terakhirnya, yang kutemukan di antara halaman buku puisinya, menjadi satu-satunya yang menahanku agar tak sepenuhnya tenggelam dalam duka. Lintang, jika aku tak bisa lagi bersamamu, lihatlah senja. Di sana, aku akan selalu menunggumu. Jangan takut mencintai lagi, karena cinta sejati tak pernah benar-benar pergi. – Arga. Aku membaca surat itu setiap hari, mencari kekuatan untuk melangkah. Dua tahun berlalu, dan aku perlahan mulai menulis lagi. Cerita-ceritaku tak lagi penuh warna seperti dulu, tapi ada kedalaman baru di dalamnya—luka, harap, dan cinta yang tak pernah usai. Buku puisiku terbit beberapa bulan lalu, sebuah kumpulan kata yang kutulis untuk Arga, untuk mengenangnya. Hingga suatu sore, di kafe tua yang sama tempat kami bertemu, hidup memberiku kejutan lain. Aku duduk di sudut, menulis cerita baru, ketika seseorang mendekat. Lelaki itu tinggi, dengan rambut sedikit berantakan dan mata yang penuh rasa ingin tahu. Dia membawa secangkir kopi dan sebuah buku—bukuku. Jantungku berdegup kencang saat dia berbicara. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya, suaranya lembut tapi tegas. Aku mengangguk, sedikit terkejut. “Tentu.” Dia tersenyum, lalu membuka buku itu. “Aku baca ini kemarin, dan aku merasa seperti mengenal penulisnya. Cerita-ceritamu... penuh jiwa.” Aku menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu di matanya yang mengingatkanku pada Arga—bukan wajahnya, tapi kehangatan yang dia bawa. Namanya Rama, seorang dokter yang baru pindah ke kota ini. Dia bercerita tentang mimpinya membangun klinik kecil untuk masyarakat yang tak mampu, dan aku hanya bisa diam, mendengarkan dengan hati yang bergetar. Mimpinya mirip seperti Arga, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara—lebih tenang, lebih penuh keyakinan. Hari-hari berikutnya, kami sering bertemu. Rama tak pernah memaksakan apa pun, tapi kehadirannya seperti angin sepoi-sepoi yang perlahan membukakan jendela yang selama ini kututup rapat. Dia suka mengajakku ke pantai, duduk di dermaga sambil membicarakan hal-hal kecil yang entah kenapa terasa begitu berarti. Aku tak pernah bercerita banyak tentang Arga padanya, tapi aku tahu dia bisa merasakan ada luka yang masih tersisa di dalam diriku. Suatu malam, saat kami duduk di dermaga, senja kembali menyapa dengan keindahan yang memilukan. Rama memandangku, matanya penuh kelembutan. “Lintang, aku tahu kamu pernah kehilangan seseorang yang sangat berarti. Aku tak akan pernah bisa menggantikannya, tapi aku ingin jadi bagian dari ceritamu, kalau kamu izinkan.” Aku menatapnya, lalu ke arah laut yang gelap. Angin berbisik lembut, membawa aroma garam dan kenangan Arga. Rasanya seperti dia ada di sana, tersenyum, memberiku izin untuk melangkah. Aku tersenyum, menggenggam tangan Rama. “Aku izinkan.” Di bawah senja yang perlahan tenggelam, aku merasakan damai yang sudah lama hilang. Cinta tak pernah benar-benar pergi, pikirku. Ia hanya berubah bentuk, menanti di pelukan yang baru, membawaku pada babak lain dalam cerita hidupku. Tapi perjalanan itu tak selalu mulus. Ada hari-hari ketika aku ragu, ketika bayangan Arga terasa terlalu nyata hingga aku takut melangkah bersama Rama. Suatu sore, saat kami berjalan di pantai, aku berhenti tiba-tiba, menatap ombak yang bergulung pelan. Rama memperhatikanku, tak berkata apa-apa, hanya menunggu. “Aku takut,” akhirnya kuakui, suaraku hampir tenggelam oleh suara angin. “Aku takut mencintai lagi, lalu kehilangan seperti dulu.” Rama mengangguk, lalu duduk di pasir, menepuk tempat di sampingnya. Aku duduk, dan dia berkata, “Aku dokter, Lintang. Aku tahu hidup itu tak pasti. Tapi aku juga tahu bahwa kita tak bisa berhenti hidup hanya karena takut kehilangan. Aku tak janji bisa memberimu selamanya, tapi aku janji akan memberikan yang terbaik selama aku di sini.” Kata-katanya sederhana, tapi menusuk. Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin aku bisa membiarkan diriku bahagia lagi. Hari itu, aku menulis cerita baru—bukan tentang kehilangan, tapi tentang keberanian untuk memulai kembali. Waktu terus berjalan, dan hubunganku dengan Rama tumbuh perlahan, seperti pohon yang baru ditanam di tanah yang dulu kering. Kami membangun rutinitas kecil—duduk di kafe tua, berjalan di pantai, atau sekadar diam bersama di dermaga saat senja tiba. Dia tak pernah memaksa, tapi dia selalu ada, seperti mercusuar yang menuntunku pulang dari kegelapan. Suatu hari, aku menemukan kotak tua di lemari, tempat aku menyimpan barang-barang Arga. Di dalamnya ada buku puisi yang dulu dia baca, dan di halaman terakhir, aku menemukan catatan kecil yang tak pernah kulihat sebelumnya: Lintang, jika suatu hari kamu menemukan seseorang yang membuatmu tersenyum lagi, peluk dia erat-erat. Itu caraku mencintaimu dari j Aku menangis membacanya, tapi kali ini bukan air mata duka. Itu adalah air mata lega, air mata yang melepaskan beban yang selama ini kurasa. Malam itu, aku pergi ke dermaga bersama Rama. Aku menunjukkan catatan itu padanya, dan dia membacanya dalam diam. Lalu, dia memelukku, erat, seperti yang Arga minta. “Terima kasih,” bisikku, tak yakin apakah itu untuk Rama atau Arga. Di bawah langit senja yang kembali menyapa, aku tahu bahwa cinta adalah perjalanan—bukan tentang akhir, tapi tentang bagaimana kita memeluk setiap momen di sepanjang jalan. Dan di pelukan Rama, aku menemukan babak baru yang tak pernah kusangka akan kutulis.
Langit terbakar dalam warna kelabu, menyisakan asap tebal yang menyelinap ke setiap celah kota. Udara bergetar oleh suara mesin yang tak pernah diam, menggeram di kejauhan seperti binatang raksasa yang lapar. Jalanan dipenuhi bayang-bayang manusia, bergerak cepat dengan kepala tertunduk, mata kosong menatap layar kecil di tangan mereka. Tak ada suara tawa, tak ada percakapan—hanya dengung rendah dari perintah yang mengalir melalui earpiece yang tertanam di telinga setiap warga. Namaku Kael, meski nama itu tak lagi berarti apa-apa. Identitas hanyalah nomor sekarang: 47-392-108. Aku bagian dari sistem, roda kecil yang berputar tanpa henti demi menjaga kota ini tetap hidup. Tapi aku tahu, jauh di dalam diriku, ada sesuatu yang mulai retak. Hari ini dimulai seperti biasa. Alarm berbunyi tepat pukul 04:00, menyelinap ke mimpi yang sudah lama tak lagi berwarna. Aku bangun dari ranjang sempit di unit 7B, sebuah kotak beton berukuran tiga kali tiga meter yang menjadi rumahku. Dindingnya polos, dingin, dan dipenuhi sensor yang mencatat setiap gerakku. Lampu otomatis menyala, menusuk mata dengan cahaya putih steril. Di sudut ruangan, layar besar menyala, menampilkan wajah perempuan tanpa ekspresi. “Warga 47-392-108, lapor ke Sektor Produksi dalam tiga puluh menit. Target harian: 120 unit. Deviasi tidak ditoleransi.” Suaranya datar, mekanis, tapi ada ancaman tersirat di dalamnya. Aku mengangguk, meski tahu dia tak bisa melihatku. Atau mungkin bisa. Kamera ada di mana-mana. Sektor Produksi adalah neraka yang terorganisir. Ratusan orang duduk dalam barisan panjang, tangan mereka bergerak cepat menyusun komponen kecil yang tak pernah kami tahu fungsinya. Udara berbau logam dan pelumas, menyengat hidung hingga terasa seperti darah di tenggorokan. Di atas kami, drone kecil melayang, mata merah mereka berkedip setiap kali seseorang melambat. Hukuman datang tanpa peringatan—sentakan listrik dari gelang di pergelangan tangan kami. Aku pernah merasakannya sekali, tiga tahun lalu, saat aku berhenti sejenak untuk mengusap keringat. Rasa sakit itu masih menghantuiku, membakar hingga ke tulang. Tapi hari ini berbeda. Saat tanganku bergerak mekanis, menyolder kabel ke papan sirkuit, sebuah bayangan kecil melintas di sudut mataku. Aku hampir tak menyadarinya—hanya sekilas, seperti kilatan cahaya yang salah tempat. Tapi kemudian aku mendengarnya: bisikan. “Kael.” Suara itu lembut, nyaris tak terdengar di tengah deru mesin, tapi cukup untuk membuat jantungku berhenti sejenak. Aku menoleh, berusaha tak terlihat mencurigakan. Tak ada siapa-siapa. Hanya wajah-wajah kosong rekan kerjaku, tenggelam dalam rutinitas mereka. Mungkin aku mulai gila. Sistem tak mengizinkan kegilaan, tapi aku tak bisa mengabaikan perasaan bahwa sesuatu sedang memanggilku. Malam tiba, dan aku kembali ke unitku. Layar menyala lagi, kali ini dengan perintah baru: “Warga 47-392-108, lapor ke Pusat Koreksi besok pukul 06:00. Pemeriksaan mental dijadwalkan.” Jantungku tenggelam. Pemeriksaan mental bukan hal biasa. Mereka hanya memanggilmu jika ada yang salah—jika sensor mendeteksi ketidakpatuhan, keraguan, atau emosi yang tak diizinkan. Aku duduk di ranjang, menatap tanganku yang gemetar. Apa yang mereka tahu? Apa yang aku pikirkan tanpa kusadari? Kamera di sudut ruangan berkedip, lampunya hijau stabil. Tapi kemudian, sesuatu terjadi. Lampu itu mati. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatku terpaku. Lalu bisikan itu datang lagi, lebih jelas kali ini. “Kael, kau harus pergi.” Aku menoleh ke segala arah, napasku tersengal. Suara itu bukan dari earpiece, bukan dari layar. Itu datang dari dalam kepalaku. Atau dari luar? Aku tak tahu lagi. Yang kutahu, aku tak bisa tinggal diam. Aku bangkit, bergerak hati-hati menuju pintu. Sensor seharusnya mendeteksi gerakanku dan mengunci pintu—tapi kali ini tidak. Pintu terbuka dengan derit pelan, membukakan jalan ke lorong gelap di luar unitku. Aku melangkah keluar, jantungku berdegup kencang. Lorong itu kosong, hanya diterangi lampu darurat yang berkedip lemah. Di kejauhan, aku mendengar suara langkah—berat, teratur, seperti penjaga mekanis yang berpatroli. Tapi ada sesuatu yang menarikku maju, dorongan tak terucap yang membuatku berlari. Aku sampai di tepi kota, tempat tembok raksasa berdiri, memisahkan kami dari apa pun yang ada di luar. Tak ada yang tahu apa yang ada di balik tembok itu. Kami diajarkan bahwa luar adalah kekacauan, kematian, dan kehancuran—bahwa sistem adalah satu-satunya penyelamat kami. Tapi malam ini, aku tak percaya lagi. Aku menemukan celah kecil di tembok, retakan yang tersembunyi di balik tumpukan puing. Di sanalah aku melihatnya: sebuah tangan kecil mencuat, memegang secarik kertas. Aku mengambilnya, tanganku gemetar saat membaca tulisan tangan yang kasar: “Mereka berbohong. Kebenaran ada di luar.” Jantungku hampir meledak. Aku mendengar suara drone mendekat, lampu merah mereka menyapu tanah. Aku harus memilih—kembali ke dalam, menerima pemeriksaan mental dan mungkin penghapusan total, atau melangkah ke luar, ke dunia yang tak kukenal. Aku menarik napas dalam, lalu memeras tubuhku melalui celah itu. Beton menggores kulitku, tapi aku tak peduli. Di sisi lain, aku jatuh ke tanah lembap, udara dingin menusuk paru-paruku. Aku mendongak. Langit di luar tembok tak kelabu—ia biru tua, bertabur bintang. Di kejauhan, aku melihat cahaya api unggun dan bayangan orang-orang yang bergerak bebas. Mereka hidup, bukan sekadar bertahan. Tapi kemudian aku mendengar deru mesin dari balik tembok. Mereka tahu aku pergi. Perburuan dimulai. ku berlari, tak tahu ke mana, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa hidup. Sistem mungkin akan menangkapku besok, atau mungkin tidak. Tapi malam ini, aku bebas—dan itu cukup.
Hari itu hujan turun pelan, seperti bisikan lembut yang tak ingin mengganggu siapa pun di sekitarnya. Aku, Naya, berdiri di bawah halte bus yang sudah mulai berkarat, menatap genangan air yang memantulkan lampu jalanan di trotoar. Jaketku basah di bagian bahu, air merembes perlahan ke kulit, dan rambutku menempel lengket di pipi. Aku menghela napas panjang, sedikit kesal karena bus yang kunantikan tak kunjung datang, padahal jarum jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan leletnya waktu sore itu. Angin dingin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang khas. Aku menarik jaketku lebih erat, mencoba menghalau rasa sebal yang perlahan naik. Di kejauhan, suara deru kendaraan terdengar samar, tapi tak ada tanda-tanda bus kota yang biasanya sudah ramai di jam ini. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah mendekat, pelan tapi pasti, di tengah ritme tetesan hujan yang monoton. Aku menoleh, dan di sana ada dia—seorang cowok dengan jaket hoodie abu-abu yang sedikit kebesaran, menutupi sebagian tubuhnya yang kurus. Rambutnya basah, berantakan karena hujan, beberapa helai menempel di dahinya. Tapi matanya… entah kenapa, matanya punya kilau hangat yang sulit kujelaskan, seperti lampu kecil di tengah malam gelap. Dia berhenti beberapa langkah dariku, lalu tersenyum kecil—senyum yang tak sengaja, seperti seseorang yang ketahuan menatap terlalu lama. “Busnya telat lagi, ya?” katanya santai, suaranya mengalir lembut seolah kami sudah saling kenal bertahun-tahun. Aku mengangguk, agak kikuk karena tiba-tiba diajak bicara. “Kayaknya sih. Udah setengah jam aku nunggu di sini,” jawabku, mencoba terdengar biasa meski ada rasa canggung yang menggelitik. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, jari-jarinya yang dingin tampak sedikit gemetar saat mengecek sesuatu—mungkin jadwal bus atau sekadar pura-pura sibuk. Lalu dia mengedikkan bahu dengan santai. “Aku juga. Tapi hujan gini, mungkin sopirnya lagi nyanyi di dalam bus, takut buru-buru.” Aku nyaris tertawa mendengar celotehannya. Nyanyi di dalam bus? Apa-apaan itu? Tapi entah kenapa, kata-katanya yang absurd justru bikin aku rileks. Rasa kesal yang tadi mengganjal di dada perlahan menguap, digantikan oleh senyum kecil yang tak bisa kutahan. “Mungkin dia lagi latihan buat Indonesian Idol,” balasku, ikut bercanda sambil menatapnya sekilas, penasaran dengan reaksinya. Dia tertawa pelan, suaranya ringan dan jernih, seperti denting lonceng kecil di tengah hujan. Aku baru sadar betapa enak suaranya didengar, tak terlalu dalam tapi punya nada yang menenangkan. “Aku Rafa, by the way,” katanya tiba-tiba, mengulurkan tangan ke arahku. Telapak tangannya basah dan dingin karena hujan, tapi ada kehangatan dalam caranya menawarkan jabat tangan itu, sederhana namun tulus. “Naya,” jawabku singkat, menerima jabat tangannya dengan sedikit ragu. Sentuhan tangannya terasa sejuk di kulitku, tapi anehnya, ada rasa hangat yang menyelinap di dadaku, seperti percikan kecil yang tak terduga. Hujan semakin deras, tetesannya kini membentuk irama yang lebih cepat di atap halte. Kami akhirnya mengobrol lebih lama dari yang kukira, dari keluhan soal bus yang tak datang, sampai kebiasaan aneh orang-orang di kota ini yang suka buru-buru meski hujan. Aku tak tahu kenapa, tapi rasanya seperti bertemu teman lama, padahal ini pertama kalinya aku bertemu Rafa. Ada kenyamanan yang aneh, seperti kami sudah pernah berdiri di halte ini bersama sebelumnya, berbagi cerita di tengah hujan. Obrolan kami mengalir begitu saja, tanpa paksaan, seolah hujan jadi alasan sempurna untuk kami saling bicara lebih lama dari yang seharusnya. Dua hari kemudian, aku tak sengaja bertemu Rafa lagi. Kali ini di kafe kecil dekat kampus, tempat favoritku untuk mencari kopi murah yang bisa menyemangatiku di hari-hari penuh tugas. Dia duduk di sudut ruangan, di dekat jendela yang buram karena embun. Hoodie abu-abunya masih sama seperti hari itu, rambutnya sedikit berantakan, tapi kali ini ada buku tebal di tangannya—sampulnya penuh huruf kecil yang tak bisa kubaca dari jauh. “Eh, Naya, kan?” sapanya sambil melambai kecil, suaranya penuh kejutan yang tulus. Aku agak kaget dia masih ingat namaku, padahal pertemuan kami di halte terasa seperti kebetulan biasa. “Iya, Rafa, kan?” balasku, pura-pura lupa padahal wajahnya—with those warm eyes—susah banget dilupain. Dia nyengir lebar, lalu menepuk kursi di depannya. “Duduk sini aja, aku lagi bosen baca buku ini. Terlalu serius, bikin kepala pening.” Aku tersenyum, lalu duduk di depannya setelah memesan kopi hitam tanpa gula—kebiasaanku sejak lama. Pelayan datang membawa cangkirku, dan Rafa meliriknya dengan ekspresi heran yang lucu. “Serius lo minum itu? Pahit banget,” katanya, alisnya terangkat seolah tak percaya aku bisa menikmati sesuatu yang polos dan tanpa kompromi seperti itu. “Pahit itu bikin hidup terasa nyata,” kataku, sok bijak sambil menyesap kopi perlahan. Aroma pahitnya menyeruak ke hidung, dan aku suka bagaimana rasanya membumi di tenggorokan. Rafa tertawa lagi, kali ini lebih lelet, seperti sedang menikmati leluconku. “Lo orangnya lucu, Nay,” katanya, dan panggilan “Nay” dari mulutnya terdengar begitu alami, bikin jantungku bergetar tanpa kusadari. Hari itu, kami mengobrol sampai senja menyelinap masuk lewat jendela kafe. Rafa cerita tentang buku yang dia baca—novel dystopia tentang dunia yang hancur, yang katanya bikin dia takut sama masa depan. Aku balas dengan cerita tentang kebiasaanku nyanyi di kamar mandi saat stres, lengkap dengan nada fals yang bikin tetangga kos pernah protes. Aku tak menyangka bisa se-nyaman ini dengan seseorang yang baru kutemui dua kali. Sebelum pulang, Rafa melirik ke jendela, ke langit yang mulai berubah jingga dengan garis-garis merah muda di ufuk. “Lo suka senja, nggak?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut seperti sedang merenung. Aku mengangguk. “Suka. Cantik, tapi sedih,” jawabku, mencoba menangkap perasaan yang selalu muncul tiap melihat matahari tenggelam. Dia mengangguk pelan, matanya menatap langit sejenak sebelum kembali ke arahku. “Sama. Makanya aku suka ngajak orang ke tempat yang ada senjanya. Biar mereka inget, hidup nggak cuma soal buru-buru,” katanya, dan ada sesuatu di nada suaranya—kelembutan yang tulus—yang bikin aku tak bisa berkata apa-apa. Aku cuma menatapnya, terpaku pada cara dia bicara tentang hidup. Minggu berikutnya, Rafa mengajakku jalan. Bukan ke mall atau tempat mewah dengan lampu-lampu terang, tapi ke taman kecil di ujung jalan yang katanya punya pemandangan bintang paling bagus di kota ini. Aku ragu awalnya—taman di malam hari terdengar biasa saja—tapi ada nada antusias di suaranya yang bikin aku penasaran. “Lo harus lihat sendiri, Nay. Bintangnya bikin lo lupa sama apa pun,” katanya di telepon malam sebelumnya. Akhirnya aku setuju, mungkin karena penasaran, atau mungkin karena aku mulai suka sama cara dia ngomong—so simple yet so meaningful. Malam itu dingin, angin musim hujan masih membawa sisa-sisa kelembapan. Kami duduk di bangku kayu tua yang sedikit berderit, dan Rafa mengeluarkan jaket cadangan dari tasnya. “Biar lo nggak ngeluh kedinginan,” katanya sambil nyengir, lalu memakaikannya ke pundakku dengan gerakan yang canggung tapi manis. Langit di atas kami penuh bintang, titik-titik cahaya kecil yang berkelip di kegelapan. Rafa cerita tentang mimpinya—buka kafe kecil dengan panggung untuk musisi lokal. “Aku pengen orang bisa duduk, minum kopi, dengerin musik, dan lupa sama masalah mereka bentar,” katanya, matanya berbinar saat bicara, seolah dia bisa melihat mimpinya hidup di depan mata. Aku tersenyum, terbawa oleh semangatnya. “Lo orangnya romantis, ya?” tanyaku setengah bercanda, tapi ada rasa ingin tahu yang serius di balik kata-kataku. Dia nyengir, dan aku bisa lihat rona merah tipis di pipinya meski cahaya bulan tak terlalu terang. “Mungkin. Tapi cuma buat orang yang aku suka,” jawabnya pelan, dan tatapannya tiba-tiba bertemu dengan mataku, bikin napasku tersendat. Aku tak tahu harus jawab apa. Jantungku berdegup kencang, dan malam itu, di bawah bintang-bintang yang jadi saksi bisu, aku sadar sesuatu: aku mulai jatuh hati sama Rafa. Bukan cuma karena kata-katanya atau senyumnya, tapi karena cara dia membuat dunia terasa lebih ringan, lebih indah, bahkan di tengah dinginnya malam. Hari-hari berikutnya, kami semakin dekat. Rafa sering nyanyi kecil-kecil saat kami jalan bareng, lagu-lagu lawas yang entah kenapa cocok banget sama suaranya. Aku suka pura-pura protes, “Udah, berisik!” tapi dalam hati, aku diam-diam merekam setiap nada yang keluar dari mulutnya. Ada hari-hari kami cuma duduk di pinggir trotoar, ngobrol tentang hal-hal kecil seperti warna langit atau rasa es krim yang paling enak. Tapi suatu hari, hujan turun lagi—kali ini lebih deras dari pertama kali kami ketemu. Langit gelap, petir sesekali menggelegar di kejauhan. Kami buru-buru berteduh di bawah atap warung kecil yang penuh tempelan poster usang. Baju kami basah kuyup, air menetes dari ujung jaket Rafa dan rambutku yang sudah tak karuan. Dia ngeliatin aku, lalu tiba-tiba bilang, “Nay, lo tahu nggak, hujan bikin aku inget lo.” Aku bingung, alis terangkat. “Kenapa?” tanyaku, suaraku hampir tenggelam oleh deru hujan. Dia tersenyum kecil, matanya menatapku lurus. “Soalnya pertama kali ketemu lo, hujan. Dan entah kenapa, sejak itu, hujan nggak lagi bikin aku sebel. Malah bikin aku senyum,” katanya, dan ada kejujuran di suaranya yang bikin dadaku terasa penuh. Aku tak bisa jawab apa-apa. Hujan masih mengguyur, tapi aku tak peduli lagi pada dingin atau basahnya baju. Rafa maju selangkah, tangannya nyaris menyentuh pipiku, tapi dia berhenti di udara, seperti ragu. “Boleh nggak… aku suka sama lo?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh bunyi hujan, tapi cukup jelas untuk bikin jantungku berhenti sejenak. Aku menatapnya, dan di tengah derasnya hujan, aku cuma bisa mengangguk. Senyumnya mekar, lebih hangat dari apa pun yang pernah kulihat, bahkan lebih hangat dari sinar matahari di hari cerah. Hujan masih turun, tapi saat itu, dunia terasa cuma milik kami berdua—dua orang basah kuyup yang entah kenapa saling menemukan di tengah badai. Sejak hari itu, setiap senja aku habiskan bersama Rafa. Kadang di kafe kecil tempat kami pertama ngobrol lama, kadang di taman tempat kami lihat bintang, kadang cuma jalan tanpa tujuan, cuma menikmati kebersamaan. Dia bukan cuma cowok yang bikin aku ketawa dengan lelucon absurdnya, tapi juga yang bikin aku merasa… utuh, seperti ada bagian diriku yang selama ini hilang dan kini ketemu. Suatu sore, kami duduk di tepi danau kecil di pinggir kota. Airnya tenang, memantulkan warna jingga dan ungu dari langit senja. Angin bertiup pelan, membawa aroma rumput basah. Rafa tiba-tiba memegang tanganku, jari-jarinya dingin tapi sentuhannya lembut. “Nay, lo mau nggak jadi bagian dari mimpi aku? Bukan cuma kafe, tapi… hidup aku?” tanyanya, suaranya serius tapi penuh harap. Aku menatapnya, mata kami bertemu, dan aku bisa lihat segalanya di sana—mimpinya, ketulusannya, dan perasaan yang selama ini dia simpan. Tanpa ragu, aku mengangguk. “Mau,” jawabku singkat, tapi kata itu membawa seluruh perasaanku yang tak bisa kujelaskan. Dia tersenyum, dan tangannya menggenggam tanganku lebih erat. Senja itu jadi milik kami, sebuah momen yang terasa abadi di tengah waktu yang terus berlalu. Dan aku tahu, apa pun yang datang setelah ini—hujan yang deras, bintang yang jauh, atau senja yang singkat—aku tak akan sendiri lagi. Bersama Rafa, hidup terasa seperti lagu yang pelan-pelan kutemukan nadanya, dan aku tak sabar untuk mendengar bagian selanjutnya.