Lina menyeret koper kecilnya ke dalam kontrakan baru di gang sempit pinggiran Surabaya. Dindingnya agak mengelupas, dan bau apek kayu tua menyelinap ke hidungnya. “800 ribu sebulan, lumayanlah,” gumamnya, mencoba menghibur diri. Dia baru saja kehilangan pekerjaan sebagai jurnalis, dan kontrakan murah ini adalah pilihan terakhirnya. Di luar, pohon beringin besar berdiri di ujung gang, daun-daunnya bergoyang pelan meski angin tak terasa. Lina mengernyit. “Kok serem ya,” pikirnya, tapi dia cepat-cepat mengusir perasaan itu.
Malam pertama, dia duduk di ranjang, scrolling ponsel untuk mencari lowongan kerja. Jam menunjukkan pukul 00:30 saat suara itu datang—tangisan bayi, pelan tapi menusuk, seperti dari kejauhan. Lina menegakkan kepala, mendengarkan lebih saksama. “Mungkin tetangga,” katanya pada diri sendiri, meski gang ini terasa sepi sejak sore. Dia bangkit, melangkah ke jendela kecil, dan membukanya sedikit. Cahaya lampu jalan kuning tua berkedip-kedip, menyisakan bayangan pohon beringin yang terlihat lebih gelap dari biasanya.
Tangisan itu berhenti sejenak, lalu digantikan tawa kecil—cepat, seperti anak kecil yang sedang bermain. Lina mengerutkan kening. “Kamera mati kali ya, kok ga ada orang?” Dia mengintip lebih lama, tapi gang itu kosong. Hanya pohon beringin yang daunnya bergoyang, seolah ada yang menggoyangkannya dari bawah. Jantungnya mulai berdegup kencang. Dia menutup jendela, mengunci rapat, dan kembali ke ranjang. “Mungkin cuma kucing,” katanya, tapi suaranya sendiri terdengar tak yakin.
Lina menarik selimut sampai dagu, mencoba tidur. Tapi tak lama kemudian, suara itu kembali—tangisan bayi, kini lebih jelas, bercampur tawa yang terdengar seperti dari dalam kamar. Dia membuka mata perlahan, memindai ruangan yang hanya diterangi lampu meja kecil. Tak ada apa-apa. Tapi saat dia menoleh ke jendela, ada bayangan samar di balik kaca—rambut panjang hitam menjuntai, bergoyang pelan seperti tertiup angin. Lina terpaku, napasnya tertahan. Bayangan itu tak bergerak, hanya diam, seolah menatapnya.
Tiba-tiba, lampu meja berkedip sekali, lalu mati. Gelap menyelimuti ruangan. Dari arah jendela, suara ketukan pelan terdengar—tokoh... tokoh... tokoh—seperti kuku yang mengetuk kaca. Lina menjerit kecil, meraih ponselnya, dan menyalakan senter. Cahaya itu menyapu jendela, tapi bayangan itu hilang. Hanya ada daun beringin yang menempel di kaca, seolah dilempar angin. Tapi di luar, malam terasa terlalu sunyi—tak ada angin, tak ada suara lain.
Lina menatap ponselnya, tangannya gemetar. Jam menunjukkan pukul 01:11. Di sudut ruangan, dia mendengar bisikan pelan, hampir tak terdengar: “Mbak... anakku mana?” Suara itu dingin, menusuk telinga. Lina menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya bayangan pohon beringin di dinding yang kini terlihat lebih panjang dari sebelumnya.
[Bersambung ke Part 2: Bayangan di Cermin]