Lina tak tidur setelah malam pertama itu. Cahaya pagi yang masuk lewat celah-celah jendela terasa seperti penyelamat, meski matanya perih dan tubuhnya lelet bergerak. Dia duduk di meja kecil, menulis di catatan hariannya: “Mungkin aku stres. Suara tadi cuma halusinasi.” Tapi tulisannya bergetar, dan dia tahu itu tak sepenuhnya benar. Bau kemenyan samar masih tersisa di udara, meski dia sudah membuka semua jendela sejak subuh.
Pagi itu, dia memutuskan ke warung makan di ujung gang, berharap kopi hitam bisa mengusir rasa takut yang masih mengendap. Di sana, dia bertemu Bu Tini, tetangga yang kemarin menyapunya. “Mbak Lina, matanya kok panda? Kurang tidur ya?” tanya Bu Tini sambil menuang sambal ke piring nasinya. Lina tersenyum kecut. “Iya, Bu. Tadi malam dengar tangis bayi. Emang ada yang punya anak kecil di sini?” Bu Tini berhenti mengunyah, menatap Lina dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Mbak, aku bilang kan kemarin. Jangan buka jendela malam-malam. Itu bukan bayi.”
Lina tertawa kecil, mencoba meremehkan. “Hantu, Bu? Kuntilanak gitu?” Tapi Bu Tini tak ikut tertawa. “Namanya Wulan,” katanya pelan, matanya melirik ke pohon beringin di kejauhan. “Dulu dia tinggal di rumah yang sekarang Mbak kontrak. Mati bareng anaknya, kecelakaan di bawah pohon itu. Dia... nyari sesuatu.” Lina merinding, tapi tetap pura-pura santai. “Nyari apa, Bu? Bayinya?” Bu Tini menggeleng. “Entah. Tapi kalau dia udah ngintip, Mbak hati-hati. Dia suka ikut orang.”
Sepanjang hari, Lina berusaha mengabaikan cerita itu. Dia membuka laptop, mencari kerja, dan memaksa diri fokus. Tapi pikirannya terus kembali ke suara tadi malam—tangisan, tawa, dan bisikan dingin itu. “Mbak... anakku mana?” Siang mulai berganti senja, dan gang itu kembali sunyi. Lina menoleh ke jendela. Pohon beringin tampak lebih gelap sekarang, akar-akarnya yang menjalar ke tembok seolah lebih panjang dari kemarin.
Malam tiba terlalu cepat. Lina memutuskan tak menyalakan lampu besar, hanya lampu meja kecil yang redup. Dia duduk di ranjang, memeluk bantal, dan menatap pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Entah kenapa, dia merasa tak boleh ke sana malam ini. Tapi saat jarum jam mendekati pukul satu, suara itu datang lagi—tangisan bayi, kini lebih keras, seperti dari dalam rumah. Lina menutup telinga, berharap itu berhenti. Tapi tawa kecil menyusul, dan kali ini jelas dari kamar mandi.
Dia tak tahan. Dengan tangan gemetar, dia meraih ponsel dan menyalakan senter, berjalan pelan ke kamar mandi. Pintu kayu tua itu berderit saat didorong. Cahaya senter menyapu lantai keramik retak dan wastafel kecil. Di atas wastafel, cermin bulat tua memantulkan wajahnya—pucat, dengan lingkaran hitam di bawah mata. Lina menghela napas lega. “Liat, ga ada apa-apa,” gumamnya.
Tapi saat dia hendak berbalik, cermin itu menangkap sesuatu di belakangnya. Bayangan hitam, rambut panjang menjuntai, gaun putih robek berkibar pelan. Lina membeku. Dia tahu tak ada angin di dalam ruangan. Perlahan, dia menoleh, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya bau kemenyan yang tiba-tiba muncul, menyengat hidungnya. Dia kembali menatap cermin—dan kali ini, bayangan itu lebih jelas. Wajah pucat, mata hitam pekat, mulut tersenyum lebar. “Mbak... bantu aku,” bisik suara itu, tepat di telinganya.
Lina menjerit, menjatuhkan ponselnya. Lampu meja di kamar mati seketika, dan gelap menyelimuti rumah. Dari kamar mandi, suara tawa Wulan bergema, bercampur tangisan bayi yang semakin keras. Lina tersandung saat lari ke pintu depan, mencoba membukanya—terkunci. Di luar jendela, bayangan pohon beringin bergerak, dan di bawahnya, sesosok perempuan berdiri—rambutnya terurai, menatap lurus ke arah Lina.