Ilustrasi Gambar Tangis di Ujung Gang - Part 3: Jejak di Bawah Pohon
Author: Astarani Wili Martha, S.Stat.

Tangis di Ujung Gang - Part 3: Jejak di Bawah Pohon

Lina berdiri di depan pintu depan, tangannya gemetar mencoba memutar kenop yang tak mau bergerak. “Buka, buka!” teriaknya pada diri sendiri, tapi pintu itu seperti dikunci dari luar oleh kekuatan tak terlihat. Di dalam rumah, suara tangisan bayi dan tawa Wulan masih bergema dari kamar mandi, semakin keras, seolah mendekat. Lina menoleh ke jendela—bayangan Wulan masih berdiri di bawah pohon beringin, rambutnya berkibar pelan, matanya yang hitam pekat menatap lurus ke arahnya.

Lampu meja menyala kembali tiba-tiba, tapi cahayanya berkedip-kedip, membuat bayangan di dinding bergerak seperti hidup. Lina mundur sampai punggungnya menempel ke tembok. Dia meraih ponselnya yang terjatuh tadi, layarnya retak tapi masih menyala. “Aku harus keluar dari sini,” gumamnya, mencoba menelepon siapa saja—tapi sinyal hilang. Di layar, hanya ada notifikasi jam: 01:11.

Tiba-tiba, suara itu berhenti. Hening menyelimuti rumah, tapi bukan hening yang menenangkan—lebih seperti sesuatu sedang menunggu. Lina mendengar derit pelan dari lantai kayu tua, seperti langkah kaki yang mendekat dari kamar mandi. Dia tak berani menoleh. Bau kemenyan kembali muncul, kini bercampur aroma tanah basah yang aneh. Di sudut matanya, dia melihat bayangan panjang di dinding—rambut hitam menjuntai, tangan kurus terulur.

“Mbak... bantu aku cari anakku,” bisik suara itu lagi, dingin dan menusuk. Lina memejamkan mata, berharap ini cuma mimpi. Tapi saat dia membuka mata, cermin kecil di dinding ruang tamu—yang tadi tak dia perhatikan—menunjukkan sesuatu. Wulan berdiri di belakangnya, wajahnya pucat, mulutnya tersenyum lebar, tapi matanya kosong. Lina menjerit, berbalik cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Cermin itu kini kosong, tapi ada goresan kecil di permukaannya—huruf Jawa kuno, sama seperti yang dia lihat di kamar mandi.

Lina tak tahan lagi. Dia lari ke pintu belakang di dapur, dan kali ini pintu itu terbuka. Udara malam yang dingin menyergapnya saat dia tersandung keluar ke halaman kecil. Di kejauhan, pohon beringin itu masih terlihat, dan bayangan Wulan masih ada di sana, tak bergerak. Lina berlari ke arah gang, tapi langkahnya terhenti saat dia melewati pohon itu. Ada sesuatu di tanah—kalung kecil dengan liontin berbentuk bulan sabit, terkubur setengah di antara akar-akar beringin.

Dia membungkuk, mengambil kalung itu dengan tangan gemetar. Logamnya dingin membeku, dan saat dia menyentuhnya, suara tangisan bayi meledak di telinganya—keras, memekakkan. Lina menjatuhkan kalung itu, menutup telinga, tapi suara itu tak berhenti. Dari pohon, tawa Wulan terdengar lagi, dan kali ini ada bisikan baru: “Kau temukan dia... sekarang bawa ke aku.”

Lina menoleh ke pohon. Wulan tak lagi hanya bayangan—dia berdiri nyata di sana, gaun putihnya kotor tanah, rambutnya menutupi sebagian wajah. Tapi yang membuat Lina membeku adalah tangan Wulan—kuku-kukunya panjang, hitam, dan meneteskan darah segar. “Mbak... cepat,” katanya, suaranya bergetar antara sedih dan marah. Lina mundur, tapi kakinya terasa berat, seperti ditarik ke bawah oleh akar-akar pohon yang kini bergerak perlahan, merayap ke arahnya.

Tiba-tiba, suara kasar memecah malam. “Mbak! Lari!” Itu Pak Joko, penjaga malam, berdiri di ujung gang dengan senter besar di tangan. Dia berlari mendekat, meneriakkan sesuatu dalam bahasa Jawa yang Lina tak paham. Wulan menoleh ke arahnya, dan untuk pertama kalinya, ekspresinya berubah—marah. Tangisan bayi berhenti, digantikan raungan panjang yang mengguncang udara. Lina tersadar dari kaku, berlari ke arah Pak Joko. Tapi saat dia menoleh ke belakang, Wulan sudah tak ada di bawah pohon—hanya kalung itu yang masih tergeletak, berkilau samar di bawah cahaya bulan.

“Mbak, ikut aku,” kata Pak Joko, napasnya tersengal. “Dia nggak akan ninggalin Mbak gitu aja. Kita harus cari tahu apa yang dia mau.” Lina mengangguk lelet, jantungnya masih berdegup kencang. Di tangannya, dia baru sadar memegang sesuatu—sekeping kertas tua yang terselip di kalung tadi, bertulisan tangan: “Anakku di bawah pohon.”

[Bersambung ke Part 4]

Artikel Unggulan

Baca Artikel