Ilustrasi Gambar Tangis di Ujung Gang - Part 4: Rahasia di Bawah Akar
Author: Astarani Wili Martha, S.Stat.

Tangis di Ujung Gang - Part 4: Rahasia di Bawah Akar

Lina menggenggam kertas tua itu erat-erat, jari-jarinya dingin membeku. Tulisan tangan yang pudar—“Anakku di bawah pohon”—terasa seperti teka-teki yang tak ingin dia pecahkan. Pak Joko menariknya menjauh dari pohon beringin, senternya menyapu gang yang kini terasa lebih sempit dan gelap. “Mbak, jangan pegang itu lama-lama,” katanya, suaranya tegas tapi ada getar ketakutan di dalamnya. “Benda dari dia bisa narik Mbak masuk.”

Lina menatap Pak Joko, napasnya masih tersengal. “Maksudnya apa, Pak? Anaknya di bawah pohon? Dia nyari bayinya?” Pak Joko mengangguk pelan, matanya melirik ke pohon yang kini diam, tapi akar-akarnya masih tampak lebih panjang dari sebelumnya. “Wulan mati di situ, bareng anaknya. Kecelakaan motor, katanya. Tapi ada yang bilang itu bukan cuma kecelakaan. Ada orang yang ninggalin dia waktu itu.”

Mereka berjalan cepat ke pos ronda, tempat Pak Joko biasa duduk malam hari. Di sana, hanya ada meja kayu reyot, kursi plastik, dan termos kopi tua. Pak Joko menuang kopi ke gelas kecil, menyerahkannya ke Lina. “Minum dulu, Mbak. Tenangin pikiran.” Lina menerimanya, tapi tangannya masih gemetar. “Pak, kenapa dia ganggu saya? Saya cuma kontrak di situ, nggak tahu apa-apa.” Pak Joko menghela napas panjang, menyalakan rokoknya. “Mungkin karena Mbak mirip dia. Atau... dia pikir Mbak bisa bantu.”

Lina mengerutkan kening. “Mirip? Bantu gimana?” Pak Joko tak langsung jawab. Dia membuka laci meja, mengeluarkan foto tua yang sudah menguning. Di foto itu, ada perempuan muda berambut panjang, tersenyum sambil menggendong bayi. Wajahnya lembut, tapi ada kesedihan di matanya. “Ini Wulan,” katanya. “Dua puluh tahun lalu, sebelum dia mati. Mbak lihat sendiri.” Lina menatap foto itu, dan jantungnya seperti berhenti. Wajah Wulan memang mirip dengannya—bentuk mata, dagu, bahkan senyum tipisnya.

“Dia tinggal di rumah itu sendirian sama anaknya,” lanjut Pak Joko. “Bapaknya anak itu kabur, ninggalin Wulan pas hamil. Malam dia mati, katanya dia mau nyusul ke kota, bawa anaknya. Tapi motornya nabrak pohon, dan... ya, selesai.” Lina menelan ludah. “Terus anaknya?” Pak Joko menggeleng. “Nggak ada yang tahu. Mayat Wulan ketemu, tapi bayinya nggak. Ada yang bilang hilang, ada yang bilang... masih di situ, sama dia.”

Malam semakin larut, dan angin dingin mulai bertiup pelan. Lina menatap kertas di tangannya lagi. “Jadi dia nyari anaknya? Dan dia pikir saya tahu di mana?” Pak Joko mengangguk. “Mungkin. Atau dia mau Mbak gantiin tempat anaknya. Kuntilanak gitu, Mbak. Kalau dendamnya kuat, dia nggak akan berhenti.”

Tiba-tiba, suara tangisan bayi terdengar lagi—kali ini dari arah pohon beringin. Lina dan Pak Joko menoleh serentak. Di bawah pohon, bayangan Wulan muncul lagi, tapi kali ini dia tak sendiri. Ada sosok kecil di sampingnya—bayi, merangkak perlahan di tanah, kepalanya tertutup rambut hitam basah. Lina menutup mulut, mencegah jeritan keluar. “Itu... anaknya?” bisiknya. Pak Joko memucat. “Mbak, kita harus ke sana. Kalau nggak, dia bakal dateng ke sini.”

Dengan langkah ragu, mereka mendekati pohon. Senter Pak Joko gemetar di tangannya, cahayanya menyapu tanah di bawah beringin. Kalung kecil dengan liontin bulan sabit masih ada di sana, tapi kini ada sesuatu lain—jejak kecil, seperti tangan bayi, tercetak di tanah basah. Lina membungkuk, menyentuh jejak itu, dan tiba-tiba tangan dingin mencengkeram pergelangannya dari bawah tanah. Dia menjerit, menarik tangan, tapi cengkeraman itu kuat. Wulan muncul di depannya, wajahnya kini jelas—pucat, matanya berdarah, mulutnya menganga. “Kau ambil anakku!” teriaknya, suaranya mengguncang malam.

Pak Joko berteriak, menarik Lina mundur, tapi tanah di bawah pohon mulai retak. Akar-akar beringin bergerak lagi, merayap ke arah mereka. Dari celah tanah, tangan kecil bayi muncul, meraih udara, dan suara tangisan itu berubah jadi raungan yang memekakkan. Lina terjatuh, menatap Wulan yang kini melayang di atasnya. “Bawa dia ke aku... atau kau ikut dia,” bisik Wulan, dan matanya yang berdarah menatap lurus ke jiwa Lina.

[Bersambung ke Part 5]

Artikel Unggulan

Baca Artikel