Ilustrasi Gambar Tangis di Ujung Gang - Part 5: Pengakuan di Malam Gelap
Author: Astarani Wili Martha, S.Stat.

Tangis di Ujung Gang - Part 5: Pengakuan di Malam Gelap

Lina terduduk di tanah, napasnya tersengal, matanya terkunci pada Wulan yang melayang di depannya. Wajah kuntilanak itu kini mengerikan—kulitnya retak seperti tanah kering, matanya meneteskan darah hitam, dan mulutnya menganga penuh gigi tajam. “Bawa dia ke aku... atau kau ikut dia,” ulang Wulan, suaranya bergema seperti angin yang membawa kematian. Di bawah pohon beringin, tanah masih retak, dan tangan kecil bayi itu meraih-rzaih udara, disertai tangisan yang menusuk jiwa.

Pak Joko menarik Lina berdiri, senternya jatuh dan berguling ke akar-akar pohon. “Mbak, lari! Kita nggak bisa lawan dia gini!” teriaknya, tapi kaki Lina terasa seperti ditanam ke tanah. Akar-akar beringin merayap lebih cepat, melilit pergelangan kakinya, menariknya perlahan ke arah celah di tanah. “Pak, aku nggak bisa gerak!” jerit Lina, mencoba melepaskan diri. Pak Joko berlari ke pos ronda, mencari sesuatu—mungkin alat, mungkin harapan.

Lina menatap Wulan, dan di tengah ketakutan, ada sesuatu yang berubah di matanya. Di balik kemarahan dan dendam, ada kesedihan yang dalam. “Wulan... aku nggak tahu anakmu di mana,” katanya, suaranya bergetar. “Aku cuma mau hidup tenang di sini. Tolong... berhenti.” Wulan tak bergerak, tapi tangisan bayi di bawah pohon semakin keras, dan tangan kecil itu kini muncul lebih jelas—pucat, dengan kuku kecil yang hitam.

Tiba-tiba, Pak Joko kembali, membawa sebilah pisau tua dan seikat daun kering yang berbau aneh. “Mbak, pegang ini!” katanya, melempar daun itu ke Lina. “Daun kelor—dia takut sama ini!” Lina menangkapnya, dan saat daun itu menyentuh tangannya, akar-akar yang melilitnya melemas sejenak. Dia merangkak menjauh, mendekati Pak Joko. “Pak, apa yang harus kita lakukan? Dia nggak akan berhenti!”

Pak Joko menatap pohon, wajahnya pucat. “Kita harus kasih apa yang dia mau... atau kubur dia bener-bener.” Lina mengerutkan kening. “Maksudnya?” Pak Joko menunjuk kalung dengan liontin bulan sabit yang masih tergeletak di tanah. “Itu punya anaknya. Kalau kita kasih ke dia, mungkin dia pergi. Tapi kalau nggak...” Dia tak melanjutkan, tapi Lina tahu maksudnya.

Dengan tangan gemetar, Lina merangkak mendekati kalung itu, daun kelor dipegang erat di tangan kirinya. Wulan menatapnya, raungannya berhenti, digantikan bisikan yang berulang: “Anakku... anakku...” Lina mengambil kalung itu, dan seketika suara tangisan bayi meledak lagi, memekakkan. Tanah di bawah pohon bergoyang, dan sosok bayi itu muncul lebih jelas—kecil, pucat, dengan mata kosong yang menatap Lina.

“Wulan, ini anakmu!” teriak Lina, mengangkat kalung itu. “Ambil, dan tinggalin aku!” Wulan melayang mendekat, tangannya yang berdarah terulur. Tapi saat jari-jarinya hampir menyentuh kalung, dia berhenti. Matanya yang berdarah menatap Lina, dan untuk pertama kalinya, ada ekspresi lain—kebingungan, lalu kesedihan. “Bukan... kau yang ambil dia,” katanya, suaranya pecah.

Lina mundur, tapi Wulan tiba-tiba menjerit, dan tanah di bawahnya amblas. Akar-akar pohon menarik Lina ke dalam lubang kecil yang terbuka, dan dia jatuh ke dalam kegelapan. Pak Joko berteriak dari atas, tapi suaranya memudar. Lina mendarat di tanah basah, bau tanah dan darah menyengat hidungnya. Di depannya, ada sesuatu—tulang kecil, tersusun rapi seperti kerangka bayi, dengan kalung serupa melilit di lehernya. Di sampingnya, Wulan berdiri, wajahnya kini lembut seperti di foto tua Pak Joko. “Kau temukan dia,” bisiknya. “Sekarang... bawa dia ke aku.”

Lina menatap tulang itu, jantungnya berdegup kencang. Dia tahu apa yang dimaksud Wulan—bukan kalung, tapi anaknya yang terkubur di sini, terjebak bersama dendam ibunya. Tapi saat dia mengulurkan tangan untuk mengambil tulang itu, tanah di sekitarnya berguncang, dan suara Wulan berubah jadi raungan lagi. “Kau nggak bisa ambil dia!” teriaknya, dan wajahnya kembali mengerikan. Akar-akar pohon melesat dari dinding lubang, membelit tubuh Lina, menariknya lebih dalam ke kegelapan.

Di atas, Pak Joko menatap lubang itu, senternya menyala redup. Tangisan bayi berhenti, tapi tawa Wulan terdengar samar dari dalam tanah, bercampur jeritan Lina yang memudar.

[Bersambung ke Part 6]

Artikel Unggulan

Pratinjau Seni Budaya Morotai: Keren, Unik, dan Bikin Bangga!
Seni - Budaya

Seni Budaya Morotai: Keren, Unik, dan Bikin Bangga!

Kenalan sama seni budaya Morotai, dari tarian tradisional yang asik, musik lokal yang bikin goyang, sampe kerajinan tangan yang cakep abis!

Baca Artikel
Pratinjau Wisata Morotai: Surga Tersembunyi di Ujung Timur Indonesia
Wisata

Wisata Morotai: Surga Tersembunyi di Ujung Timur Indonesia

Pesona Wisata Morotai, surga tersembunyi di Maluku Utara dengan pantai cakep, sejarah keren, dan vibes liburan yang bikin hati tenang!

Pratinjau Seni Budaya Morotai: Keren, Unik, dan Bikin Bangga!
Seni - Budaya

Seni Budaya Morotai: Keren, Unik, dan Bikin Bangga!

Kenalan sama seni budaya Morotai, dari tarian tradisional yang asik, musik lokal yang bikin goyang, sampe kerajinan tangan yang cakep abis!

Pratinjau Morotai: Pulau Kecil dengan Cerita Gede
Sejarah

Morotai: Pulau Kecil dengan Cerita Gede

Kisah epik Morotai, dari peran kunci di Perang Dunia II hingga rencana pelabuhan antariksa. Sejarah, alam, dan potensi di pulau kecil ini!

Pratinjau Lampung Cerdas: Sains dan Teknologi dari Kampus Hingga Lokal
Sains - Teknologi

Lampung Cerdas: Sains dan Teknologi dari Kampus Hingga Lokal

Cek sains dan teknologi di Lampung! Dari kampus top Unila, Itera, sampe inovasi lokal kece, bikin provinsi ini gak cuma soal kopi dan pantai.

Pratinjau Festival Krakatau: Pesta Budaya yang Menghidupkan Lampung
Gaya Hidup

Festival Krakatau: Pesta Budaya yang Menghidupkan Lampung

Festival Krakatau bikin Lampung hidup! Yuk, kenal pesta budaya, gaya hidup masyarakat, dan tradisi lokal di Bumi Ruwa Jurai.

Pratinjau Edukasi dan Konservasi Budaya Lampung untuk Anak Muda
Pendidikan - Konservasi

Edukasi dan Konservasi Budaya Lampung untuk Anak Muda

Kenal lagu Sang Bumi Ruwa Jurai dan Tari Sigeh Penguten? Yuk, pelajari pentingnya edukasi dan konservasi budaya serta alam Lampung buat generasi muda!

Pratinjau Sang Bumi Ruwa Jurai: Melodi Persatuan dari Tanah Lampung
Seni - Budaya

Sang Bumi Ruwa Jurai: Melodi Persatuan dari Tanah Lampung

Kenal lagu Sang Bumi Ruwa Jurai? Lagu kece Lampung ini cerita soal alam cakep dan persatuan. Yuk, simak maknanya!

Pratinjau Sang Bumi Ruwa Jurai: Cerita Lampung yang Pecah Jadi Dua
Sejarah

Sang Bumi Ruwa Jurai: Cerita Lampung yang Pecah Jadi Dua

Cerita Lampung, di balik Sang Bumi Ruwa Jurai, semboyan yang ngasih tau kita kalau Lampung punya dua kelompok adat besar yang berbeda: Saibatin dan Pepadun.

Pratinjau Pesona Rasa Lampung: Petualangan Kuliner di Bumi Ruwa Jurai
Kuliner

Pesona Rasa Lampung: Petualangan Kuliner di Bumi Ruwa Jurai

Pengen tau makanan Lampung yang bikin nagih? Yuk, cicipi Seruit juara, Gulai Taboh sehat, Mie Lampung semangat, dan banyak lagi kuliner Bumi Ruwa Jurai!

Pratinjau Teluk Kiluan Lampung
Wisata

Teluk Kiluan Lampung

Teluk Kiluan adalah sebuah teluk yang terletak di Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Tempat ini terkenal dengan keindahan alamnya.

Pratinjau Tangis di Ujung Gang - Part 1: Malam Pertama
Novel Horor

Tangis di Ujung Gang - Part 1: Malam Pertama

Lina pindah ke kontrakan murah di gang sempit Surabaya dan mendengar tangisan bayi misterius di malam pertama, disertai bayangan aneh di jendela.

Pratinjau Tangis di Ujung Gang - Part 2: Bayangan di Cermin
Novel Horor

Tangis di Ujung Gang - Part 2: Bayangan di Cermin

Lina tak bisa tidur setelah malam pertama dan melihat bayangan Wulan di cermin kamar mandi, memperdalam misteri kuntilanak di kontrakan.

Pratinjau Tangis di Ujung Gang - Part 3: Jejak di Bawah Pohon
Novel Horor

Tangis di Ujung Gang - Part 3: Jejak di Bawah Pohon

Lina menemukan kalung misterius di bawah pohon beringin dan bertemu Pak Joko, sementara Wulan semakin agresif menuntut anaknya.

Pratinjau Tangis di Ujung Gang - Part 4: Rahasia di Bawah Akar
Novel Horor

Tangis di Ujung Gang - Part 4: Rahasia di Bawah Akar

Lina dan Pak Joko mengungkap masa lalu Wulan, sementara bayangan anaknya muncul di bawah pohon beringin yang mengerikan.

Pratinjau Tangis di Ujung Gang - Part 5: Pengakuan di Malam Gelap
Novel Horor

Tangis di Ujung Gang - Part 5: Pengakuan di Malam Gelap

Lina terjebak oleh akar pohon beringin dan menemukan tulang anak Wulan, sementara kuntilanak itu menuntut lebih agresif.

Pratinjau Tangis di Ujung Gang - Part 6: Pengorbanan di Bawah Pohon
Novel Horor

Tangis di Ujung Gang - Part 6: Pengorbanan di Bawah Pohon

Lina mengorbankan diri untuk mengembalikan anak Wulan, mengakhiri kutukan kuntilanak di bawah pohon beringin dengan damai.

Page 1 of 1