Lina terseret lebih dalam ke kegelapan, akar-akar pohon beringin membelit tubuhnya seperti tali hidup. Udara terasa berat, penuh bau tanah basah dan darah tua. Di depannya, tulang kecil anak Wulan tergeletak rapi, liontin bulan sabit di lehernya berkilau samar dalam cahaya redup yang entah dari mana asalnya. Wulan berdiri di sampingnya, wajahnya beralih antara lembut dan mengerikan—satu detik seperti ibu yang merindu, detik berikutnya seperti kuntilanak penuh dendam. “Kau nggak bisa ambil dia!” raungnya, suaranya mengguncang dinding tanah di sekitar.
Lina meronta, mencoba melepaskan diri, tapi akar-akar itu semakin erat, menusuk kulitnya. Rasa sakit dan panik bercampur jadi satu, tapi di tengah itu semua, dia mendengar tangisan bayi lagi—pelan, penuh kesedihan, seperti panggilan terakhir. Lina menatap tulang itu, dan sesuatu dalam dirinya bergerak. “Wulan... aku nggak mau ambil anakmu,” katanya, suaranya parau. “Aku cuma mau kasih dia ke kamu. Biar kalian bareng lagi.”
Wulan terdiam, raungannya berhenti. Matanya yang berdarah menatap Lina, dan untuk pertama kalinya, ada kilau lain di sana—harapan, atau mungkin penyesalan. Lina mengulurkan tangan, jarinya menyentuh tulang kecil itu. Dinginnya menusuk sampai ke tulangnya sendiri, tapi dia tak menarik tangan. “Ini anakmu,” bisiknya, mengangkat kerangka itu dengan hati-hati. “Aku kasih ke kamu.”
Akar-akar yang membelitnya melemas sejenak, memberi ruang untuk bernapas. Wulan melayang mendekat, tangannya yang berdarah terulur, tapi tak menyentuh Lina. Dia mengambil tulang itu, memeluknya erat ke dada. Dari kerangka kecil itu, bayangan samar muncul—sosok bayi, pucat tapi utuh, dengan mata besar yang menatap ibunya. Tangisan berhenti, digantikan suara desah lembut, seperti napas terakhir.
“Anakku...” bisik Wulan, suaranya pecah. Wajahnya yang mengerikan perlahan memudar, kembali jadi seperti di foto tua—lembut, penuh kasih. Dia menatap Lina, dan untuk pertama kalinya, ada senyum tipis di bibirnya. “Terima kasih, Mbak,” katanya, lalu melayang ke atas, membawa anaknya. Cahaya samar menyelinap dari celah tanah, dan tubuh Wulan bersama bayinya perlahan hilang, meninggalkan aroma kemenyan yang memudar.
Lina terbatuk, paru-parunya penuh debu. Akar-akar pohon melepasnya sepenuhnya, dan tanah di sekitarnya berhenti bergetar. Dia mendongak—cahaya senter Pak Joko menyelinap dari atas lubang. “Mbak! Mbak Lina! Masih hidup?!” teriaknya, panik. Lina mengangguk lemah, mencoba merangkak naik. Pak Joko menurunkan tali tua dari pos ronda, menariknya keluar dengan susah payah.
Saat akhirnya sampai di atas, Lina jatuh terduduk di bawah pohon beringin. Malam terasa lebih tenang sekarang—tak ada tangisan, tak ada tawa. Pohon itu berdiri diam, akar-akarnya tak lagi bergerak. Pak Joko duduk di sampingnya, napasnya tersengal. “Mbak kasih apa ke dia?” tanyanya, matanya penuh tanda tanya. Lina menatap kalung kecil yang masih ada di tangannya—liontin bulan sabit yang entah kenapa ikut naik bersamanya. “Anaknya,” jawabnya pelan. “Dia cuma mau anaknya.”
Pagi menjelang, sinar matahari pertama menyelinap ke gang. Lina dan Pak Joko duduk diam, menatap pohon beringin yang kini terlihat biasa saja—hanya pohon tua, tak lebih. Tapi di bawahnya, di antara akar-akar, ada sesuatu yang tertinggal—sekuntum bunga kamboja kecil, putih bersih, yang tak ada di sana sebelumnya. Lina tersenyum tipis, meski tubuhnya masih gemetar. “Mungkin dia udah tenang sekarang,” gumamnya.
Hari itu, Lina memutuskan pindah dari kontrakan. Tapi sebelum pergi, dia meletakkan kalung itu di bawah pohon, bersama daun kelor yang tersisa. “Selamat jalan, Wulan,” bisiknya, lalu berbalik tanpa menoleh lagi. Di kejauhan, angin membawa suara samar—bukan tangisan, bukan tawa, tapi seperti ucapan terima kasih yang hilang di udara.
[TAMAT]